Rabu, 01 Februari 2012

Santunan Anak Yatim 1433 H


Acara Santunan Anak Yatim
Muharram 1433 H


Tempat          : Majelis Nurul Islam
Penceramah   : K.H. Ust. Drs. MUHAMMAD AGUS HAMID
Acara            : Santunan 15 Anak Yatim



Panitia sedang memberikan santunan



Para anak yatim sedang menunggu acara di mulai



Sedang tawajuh dan kusyu mendengarkan tausiah dari Pak Ustad



Ketua Majelis Nurul Islam Bpk. Bambang. R.SKM, bersama jamaah



Pembukaan Acara oleh Sdr. SURYANA



Walaupun mengantuk tetap semangat mendengarkan tausiah hingga acara berakhir



Para anak yatim juga didampingi oleh anggota keluarga



Jamaah yang hadir sampai memenuhi luar Kantor Sekretariat Majelis Nurul Islam



Suasana didalam Kantor Sekretariat Majelis Nurul Islam



Jamaah mencicipi hidangan ala kadarnya



Pak Ustad sedang memberikan tausiahnya tentang Iman & Amal Soleh



Satu persatu anak yatim mendapatkan santunan berupa uang dan sembako



Alhamdulillah Acara Berakhir dengan kegembiraan dan keberkahan

»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 27 Januari 2012

KEMATIAN

Sebelum membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa kematian dalam pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi sekali, tetapi dua kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:

"Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami menyadari dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk keluar (dari siksa neraka)?" 

Kematian oleh sementara ulama didefinisikan sebagai "ketiadaan hidup," atau "antonim dari hidup." Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini. Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat. 

Al-Quran berbicara tentang kematian dalam banyak ayat, sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan kehidupan sesudah kematian kedua. 

KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN 
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun manusia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam dan Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya. 
"Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). 

DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM. 
Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orang yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan pesimistis terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari kalangan para pemikir sekalipun. 

Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat kematian, karena itu kematian dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakin terdorong untuk mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti mengalami nasib yang sama. 

Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang, kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang memandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai kehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari segala sesuatu? Kilah mereka. 

Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan menjadikan kehidupan atau eksistensi mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya, dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tenapat tersebut dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada. 

Hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal amat berakar pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut oleh umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik yang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. 

Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297), "Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup." 

Demikian gagasan keabadian hidup manusia hadir bersama manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Kalau keyakinan orang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untuk menciptakan teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka dalam pandangan pemikir-pemikir modern, keabadian manusia dibuktikan oleh karya-karya besar mereka. 

Abdul Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah (I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang menyatakan: "Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya, maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul beban jiwa." 

Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini sebagai arena untuk bekerja keras, dan kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan baru guna merasakan ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban. 

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN 
Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan. 

Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad Saw., misalnya bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian)." 

Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian. 

Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainva al-hayawan (kehidupan yang sempurna). "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]: 64). 

Dijelaskan pula bahwa, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77) 

Di lain ayat dinyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38). 

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya. 

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani: "Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dan satu negen ke negen (yang lain) sehingga kalian menetap di satu tempat." (Abdul Karim AL-Khatib, I:217) 

Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati). 

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan). 

Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya, "Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu." 

Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (di sisi-Nya)? 

Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang.

Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Dalam surat Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan kepada orang-orang kafir. "Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya." 

Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian. 

Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa, 
"Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]: 1-2).1 

Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati. 

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA 
Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.
"Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS Ali-'Imran [3]: 169). 

"Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154). 
Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara' bin Azib, bahwa Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia (Ibrahim) ada seseorang yang menyusukannya di surga." 

Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik yang tewas dalam peperangan Badar dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, beliau "bertanya" kepada mereka yang telah tewas itu, "Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku." 

"Rasul. Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?" Tanya para sahabat. Rasul menjawab: "Ma antum hi asma' mimma aqul minhum, walakinnahum la yastathi'una an yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2 

Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran dan kehidupan baru. 

MENGAPA TAKUT MATI? 
Di atas telah dikemukakan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian. 

Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada tempatnya. 

Al-Quran seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4). 
Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad. 

Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at [79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.3 

Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah: "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)." 

Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut: "Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi."
Kalau demikian. mati itu sendiri "lezat dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia. Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini 

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan." 

Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, serta bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah kepada kamu.'" 

Turunnya malaikat tersebut menurut banyak pakar tafsir adalah ketika seseorang yang sikapnya seperti digambarkan ayat di atas sedang menghadapi kematian. Ucapan malaikat, "Janganlah kamu merasa takut" adalah untuk menenangkan mereka menghadapi maut dan sesudah maut, sedang "jangan bersedih" adalah untuk menghilangkan kesedihan mereka menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan seperti anak, istri, harta, atau hutang. 

Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan: "Kalau sekuanya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)

"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]: 93). 
Di sisi lain, manusia dapat "menghibur" dirinya dalam menghadapi kematian dengan jalan selalu mengingat dan meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak seorang pun akan luput darinya, karena "kematian adalah risiko hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa, "Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali 'Imran [3]: 183) "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS Al-Anbiya' [21]: 34) 
Keyakinan akan kehadiran maut bagi setiap jiwa dapat membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam kegembiraan, semakin besar pengaruh kegembiraan itu pada jiwa; sebaliknya, semakin banyak yang tertimpa atau terlibat musibah, semakin ringan musibah itu dipikul." 
Demikian Al-Quran menggambarkan kematian yang akan dialami oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci irõi menginformasikan tentang kematian yang dapat mengantar seorang mukmin agar tidak merasa khawatir menghadapinya. Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan. 
Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya. 
[] Catatan kaki: 
  1. Tajdid Al-Fikr Al-lslami, 134.
  2. Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259.
  3. Musthafa Al-Kik, hlm. 67
Sumber : media.isnet.org

»»  Baca Selengkapnya...

Tumbal dan Sesajen dalam Pandangan Islam

Oleh: Tim Buletin At Tauhid


Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus atau jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik yaitu menyekutukan Allah ta’ala dengan makhluk yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.


Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman jahiliyah sebelum Allah ta’ala mengutus RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid dan memerangi kesyirikan dengan segala bentuknya.


Allah ta’ala berfirman,
“Dan bahwasanya ada beberapa orang dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).


Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban sebagai tumbal, bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain. (Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir 4/550, Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 890, at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 317 dan kitab Hum Laisu Bisyai‘ hal. 4)


Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, sebagai imbalannya jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.” (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 273)


Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala (Lihat definisi ini di kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 282), adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala. Sebagaimana dalam firmanNya,


“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’aam: 162-163).


Dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Maka, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).


Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah ta’ala dan pemurnian agama bagiNya semata, serta pendekatan diri kepadaNya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah ta’ala. (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 228)


Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. (Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid 1/215 dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)


Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya.” (HR. Muslim)


Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya, dengan laknat Allah ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmatNya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah ta’ala dan dijauhkan dari rahmatNya. (Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitab at Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)


Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selainNya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selainNya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala semata.


Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selainNya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. (Lihat kitab Fathul Majid hal. 178 dan 179)


Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya,


“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar.” (QS. An Nisaa’: 48).


Maka, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.


Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (QS. Al-Ma’idah: 2).


Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.” ( Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir 2/5)


Dan dalam hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis transaksinya, dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa).” (HR. Muslim)


Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan diharamkannya mendukung terselenggaranya perbuatan maksiat.” (Lihat Kitab Syarhu Shahiihi Muslim 11/26)


Hukum Memanfaatkan Makanan Harta yang Digunakan untuk Tumbal (Sesajen)
Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai. (Lihat keterangan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid hal. 175)


Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah tidak boleh dimakan dagingnya.” (Lihat kitab Daqaiqut Tafsiir 2/130)


Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, Allah ta’ala jika mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya (diperjualbelikan).” (HR Ahmad 1/293, Ibnu Hibban no. 4938 dan lain-lain, Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam kitab Ghaayatul Maraam no. 318)


Adapun jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, demikian juga harta, maka sebagian ulama ada yang mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid hal. 174)


Akan tetapi pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allah, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan, karena hukum asal makanan atau harta tersebut adalah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.


Penutup
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.


Wa shalallahu wa sallama wa baraka ‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi ajma’in. Wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.


(Diringkas dengan perubahan redaksional dari artikel tulisan ustadz Abdullah Taslim, MA yang berjudul “Tumbal dan Sesajen Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah” yang terdapat dalam website www.muslim.or.id)
»»  Baca Selengkapnya...

Minggu, 22 Januari 2012

Tata Cara Wudhu

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Kedudukan wudhu dalam sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »
Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu.[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu
Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global
Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],
  1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
  2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
  3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
  4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
  5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
  6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
  7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
  8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu
  • Islam,
  • Berakal,
  • Tamyiz[11],
  • Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
  • Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
  • Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
  • Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
  • Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
  • Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ »
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
  • Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ
وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku[24].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].
  • Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
  • Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,
« الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ »
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].
  • Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,
« إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ »
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].
  • Muwalah
Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].

Sunnah Wudhu
  • Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].
  • Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

«وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »
Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].
  • Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا »
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].
  • Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ »
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].
  • Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kalikemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا
Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].
  • Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,
أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].
  • Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ ».
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].
  • Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[62].

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab
Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa] [2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.
[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.
[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.
[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.
[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.
[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.
[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar.
[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I
[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]
[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].
[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.
[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.
[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.
[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.
[21] HR. Muslim no. 237.
[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.
[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.
[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.
[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]
[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.
[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.
[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.
[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.
[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.
[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.
[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].
[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.
[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.
[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]
[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.
[42] HR. Mulsim no. 243.
[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I], lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai uban”.
[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.
[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.
[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.
[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.
[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.
[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.
[52] HR. Bukhori 158.
[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.
[54] HR. Bukhori 186.
[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.
[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.
[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[59] HR. Muslim no. 234.
[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.
[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]
[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.


Sumber : http://muslim.or.id
»»  Baca Selengkapnya...